Pada sebuah hari gerimis, kukenal sosok gagah rupawan berhati mulia. Seorang teman membawaku menujumu. Sebuah perjumpaan dan perkenalan awal yang membuatku merasa dihampiri bintang jatuh. Betapa tidak? Dari perkenalan singkat, sebulan kemudian, kau tawarkan biaya pendidikan padaku, yang andai kau tahu, pemberianmu yang sangat berharga itu menjadi sebuah titik balik dalam kehidupanku yang semula gulita karena chi hatiku merana, begitu katamu.
Siang di suatu ruang, kurang dari jarak 1 meter, aku menatapmu. Mengamati setiap tutur dari raut wajah rupawanmu. Ada senyum sumringah dan tawa lembut tiap kali kau dengar lontaran canda dari beberapa orang yang mendengarkan ucapanmu. Aku seperti biasa, berusaha menjadi pendengar setia sambil merangkum dan memori semua yang kau sampaikan, upayaku menjadi murid yang baik di hadapanmu dan tak hendak mengecewakan sang guru.
Sore pada suatu senja, kau duduk di sisi atas kepala tempatku berbaring. Dengan segala kelembutan, kau sentuh wajahku dan aku terpejam. Bukan, bukan merasakan sensasi lain yang memendar dari hati. Melainkan kucoba menghipnosis diri dari rasa sakit yang kan tercipta dari laju jarum-jarum yang kau torehkan jejaknya di seluruh permukaan wajahku.
Siang di sebuah ruang tamu, kau hantarkan beberapa buku dan materi yang kubutuhkan sebagai bahan tulisanku. Aku merasakan seluruh aura kebaikan yang terpancar lewat ketulusan dan kerendah hatianmu yang penuh. Aku menghormati dan menyeganimu sebagai seorang guru yang mumpuni dan welas asih.
Pagi, siang, sore dan malam pada putaran hari selanjutnya, aku masih menempatkanmu tingi di hatiku sebagai sosok yang sekali lagi kuhormati dan kusegani. Namun perlahan hatiku terusik mau tidak mau. Ada yang menyeleret pada sebaris rasa. Jangan salah sangka, ini serupa tanda tanya di atas segala kebaikan dan perhatian yang kau sematkan dalam lembaran cerita hidupku. Pertanyaan tentang sebuah rasa hati. Rasaku dan rasamu. Buatku, apa yang kau lakukan serupa sebuah perhatian dari ketulusan hatimu. Tapi bagaimana rasamu padaku? Jujur aku terusik, tapi sekaligus tak berani berharap bak pungguk merindukan bulan. Tahta singgasanamu terlalu tinggi buat kuraih. Aku bercermin pada kebeningan hati, layakkah jika aku berharap diluar batas penilaianku atas kebaikan dan perhatianmu selama ini. Oooowwh... aku sama sekali tak punya nyali.
Sore pada sebuah sudut cafe menuju temaram senja. Kuurai satu persatu sinyal-sinyal yang kutangkap, tapi sekali lagi, aku tak miliki banyak keberanian buat sekedar bertanya padamu. Jadi biarlah aku cuma berbagi gelisahku pada dua orang sahabat sore ini. Dan biarkan aku menikmati setiap butir perhatianmu dalam diam bersama nyanyian hati yang kusenandungkan sendiri, agar tak terperangkap rasa malu, jika ternyata rasamu memang semata sebuah uluran persahabatan atas nama kebaikan.
3 komentar:
bunda....
begitu menghanyutkannya rangkaian kata kata ini bund, salut buat bunda.....
bahagia itu hak kita bund, kalau tidak sekrang, suatu saat nanti kita pasti akan mendapatkannya...
:) --->> senyum buat bunda .....
Hai itu masih tulisan seorang pembelajar, Ridwan. But anyway terima kasih. Ya betul kita semua berhak bahagia dengan dan atas nama apapun :)
lek dis dah ....
Post a Comment
Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih