Tuesday, October 18, 2011

Bercermin Pada Lakon Wayang Trigantalpati

Bumi ini masih Indonesiaku, masih tumpah darahku. Tapi sedikit sekali diantara kita bahkan yang memahami akar budaya di mana dia lahir dan dibesarkan. Kemajuan tekhnologi yang memberi kemudahan bersentuhan dengan dunia luar justru membuat kita tertelan dan larut dalam hingar bingar budaya asing yang deras menyerbu kehidupan.

Sebagai seorang manusia yang terlahir dari kedua orang tua bersuku Jawa, seharusnya saya lebih memahami budaya sendiri yang jika mau diamati dan ditelisik lebih jauh, maka butiran mutiara hikmah dapat kita temui di dalamnya. Tapi sekali lagi, saya pun tidak beda dengan mereka yang kurang memahami budaya luhur bangsa ini.

Bersyukur mas Agus Linduaji mengajak serta saya menyaksikan pagelaran wayang orang di keraton Solo pada tanggal 22 September 2011. Bukan saja saya yang terlahir dari keluarga jawa yang terpesona dengan pagelaran tersebut, tapi juga beberapa teman yang notabene tidak memahami bahasa jawa sama sekali dan bukan dari suku Jawa, juga terpesona dengan pertunjukkan yang megah tersebut.

Script yang bagus, arahan sutradara yang ciamik, penampilan para penari yang menakjubkan, tata panggung yang dinamis dan lighting yang memukau, berpadu menjadikan pertunjukkan wayang orang tersebut menjadi sebuah pagelaran yang spektakuler.

Terlepas dari keseluruhan pertunjukkan yang sangat luar biasa ditengah serbuan budaya asing yang memenjarakan anak muda Indonesia, jalan ceritanyapun mengandung hikmah dan pelajaran yang tidak sedikit.

Dengan lakon Kembar Eram Kawuryan atau Trigantalpati atau Sengkuni Kembar Tiga yang menggambarkan bagaimana seorang Sengkuni yang memiliki nama muda R. Haryo Suman yang menjadi patih kerajaan Astinapura mengadu domba antara Baladewa dan Pandawa, Burisrawa diadu domba dengan ayahnya, Prabu Salya diadu domba dengan Setyaki dan Setyajid demi memenuhi hasrat cintanya tehadap Dewi Kunti yang notabene ibu dari para Pandawa.

Akibat kelakuan sang Sengkuni maka terjadilah perkelahian diantara Keluarga Baladewa dan Pandawa yang diwakilkan oleh Abimanyu putra Ajuna, Poncowolo dan Poncowati sebagai putra-putri Prabu Puntodewo dengan pasukan raksasa anak buah Burisrawa. Sementara itu perkelahian juga terjadi antara burisrawa dan ayahnya bersama Prabu Salya di satu pihak dan Setyaki juga Setyajid di pihak lain. Kelengahan mereka yang tengah berkelahi dimanfaatkan oleh Sengkuni untuk menculik Dewi Kunti demi memenuhi hasrat cintanya terhadap sang Dewi.

Perkelahian demi perkelahian baru mereda setelah kedatangan Prabu Kresna yang menengahi dan meminta klarifikasi terhadap pihak-pihak yang berseteru. Setelah melalui dialog panjang dan pencarian kebenaran, terbuktiuah bahwa mereka telah diadu domba oleh sengkuni. Maka bersama Prabu Kresna, mereka mendatangi Sengkuni yang tengah asyik masyuk merayu Dewi Kunti. Cerita berakhir dengan terkuaknya kebohongan Sengkuni terhadap banyak pihak

Berkaca pada lakon wayang Kembar Eram Kawuryan ini, harusnya bisa menjadi cermin bagi kita merefleksikan perjalanan kehidupan kita sehari-hari maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Lakon ini digelar menurut saya bukan untuk diteladani, melainkan sebagai cermin diri. Jika satu Sengkuni bisa memporak porandakan tatanan kedamaian hidup, apalagi jika tiga orang sekaligus.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam kehidupan selalu saja ada manusia macam Sengkuni yang memanfaatkan keadaan demi kepentingannya pribadi. Maka selayaknyalah kita waspada terhadap orang-orang yang berusaha menyusup dan mengambil kesempatan dalam kericuhan yang dia ciptakan.

Andai saja sebagai generasi muda, kita mau memperhatikan keluhuran warisan budaya semisal wayang, akan kita temui ragam cerita narasi yang tidak cuma indah namun juga mengandung unsur nilai-nilai kehidupan. Sayangnya pertunjukkan wayang sedikit sekali digemari oleh anak-anak muda. Bisa jadi karena pemerintah tidak menggalakkan cinta budaya dan kearifan lokal. Tapi bisa juga karena kemasan yang kurang menarik sehingga anak muda sekarang lebih mengenali budaya asing yang kerap mereka dengar dan saksikan dari banyak media yang mudah didapat.

Saya berharap praktisi-praktisi budaya seperti koreografer dan sutradara pagelaran wayang Trigantalpati, bapak KRMP. Sri Hadi Kusumo, SKar MHum, penata artistik KRT.Agus Linduaji dan penulis skenario wayang KRAT. Nugroho Dwijodipuro bisa mengusung budaya wayang menjadi lebih elegant namun juga membumi dan memasyarakat dengan baik. Alangkah lebih baiknya setiap kali diadakan pementasan wayang, mengundang generasi muda dari berbagai kalangan untuk menikmati dan mengapresiasinya.

Jika saya dan teman-teman bisa jatuh cinta pada pagelaran wayang, saya yakin generasi muda di luar sana pun akan juga menyukainya. Tinggal lagi kesempatan yang harus diberikan bagi mereka untuk menikmati, meresapi dan menarik simpul positif atas setiap pagelaran yang agung dan spektakuler.


(Sebuah catatan perjalanan, Solo 21-23 September 2011)

0 komentar:

Post a Comment

Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih

Followers

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting