"Sayang, apa khabar?" ucapnya sambil memelukku erat. Harum parfumnya menguar memenuhi udara berselimut cahaya rembulan.
"Baik mas. Lama amat sih? Aku udah nunggu dari tadi," kataku sambil menyurukan kepala dalam dekap hangatnya.
"Iya maaf, banyak yang harus diselesaikan. Kamu tahu, nggak mudah untuk dapat ijin keluar. Peraturan begitu ketat. Belum lagi antrian panjang untuk dapat ijin keluar pada jam-jam seperti ini." Kembali dia membawaku dalam pelukan dan mengelus kepalaku lembut. Sepenuh rasa yang dimilikinya untukku.
"Bagaimana harimu? Adakah yang menggelisahkanmu, Dek? Ragamu kudekap, tapi benak dan hatimu entah ada di pelukan siapa," ujarnya sambil berusaha mengukur kedalaman hatiku lewat nafas berat yang berkali-kali kuhembuskan.
Aku tak mampu menjawab. Kuakui jiwaku tidak sedang bersamanya. Hatiku mengkhianati tubuhku dan melukai jiwanya. Tanpa kata, aku kian membenamkan kepalaku dalam pelukannya seiring tangis yang perlahan mengisak.
"Loh ... loh ... kenapa nangis sayang? Salahkah pertanyaanku?" Dia bertanya hati-hati dan lembut.
Aku cuma menggeleng berkali-kali dan tangispun pecah. Berderai dari mata dan hatiku. Tanpa kata, dia memelukku erat. Mengalirkan kesejukkan pada kering jiwaku. Dibiarkannya aku menangis, sambil tetap membelai kepalaku dengan lembut dan sesekali mengecup rambutku.
"Mas ...," panggilku pelan.
"Ya sayang," jawabnya sambil merenggangkan pelukan.
"Mau kah mas berjanji untuk selalu ada buatku? Agar hatiku tak menyelisih tubuh seperti ini. Benakku penuh Mas. Aku tak tahu kepada siapa harus berbagi kecuali kepadamu. Cintamu membuatku bergantung padamu dalam banyak hal. Sering aku tak bisa memutuskan apapun saat kau tak bersamaku. Apa aku salah jika hatiku mengembara mencari tautan saat kau tak bersamaku? Apa aku salah jika tautan itu adalah mereka yang juga menyayangiku?" Kutumpahkan seluruh rasaku sambil menatap matanya yang selalu saja berbinar hangat.
"Sayang, Aku memang tak selalu bisa ada untukmu. Tapi percayakah kau bahwa raga dan hatiku hanya dimiliki olehmu? Aku tidak bisa selalu ada buatmu, tapi coba ingat, sudah berapa banyak waktu yang telah kita lalui bersama? Ya, meskipun belum sebanyak pasangan yang sudah menikah puluhan tahun. Tapi adakah kau temui pada waktu yang telah terlewati, hatiku tak bersamamu? Adakah kau dapati, perhatianku tak penuh buatmu? Atau bisakah kau sebutkan satu saja, perbuatanku yang melukai hatimu?" Ditatapnya mataku, mengalirkan kesejukan dan kehangatan yang selalu saja sama, menentramkan hatiku.
Aku menggeleng. Karena tak kujumpai satupun cacat cela dari putaran waktu yang ternoda bersamanya. "Maafkan aku, Mas. Cintaku padamu, kadang membuatku egois. Ingin selalu memilikimu. Ingin selalu kau dampingi dalam setiap hela nafasku."
"Sayang ... cinta ... kau lupa? aku selalu bersamamu, di sini, di hatimu," katanya sambil menepuk lembut dadaku. "Cinta itu yang akan selalu membuatmu kuat, dalam badai sekalipun."
Aku tergugu. Dia terdiam. Cuma tatap mata, hela nafas, larikan senyum dan sesekali pelukan lembut menjadi bahasa cinta di antara kami.
"Sayang, mau kah kau berjanji padaku?" Tiba-tiba suamiku bertanya.
"Janji apa?"
"Berjanjilah, kau akan selalu menungguku. Seberat apapun hidup yang kau jalani saat aku tak bersamamu. Aku akan selalu kembali. You are my home. Please honey ...? pintanya sambil menggenggam kedua telapak tanganku.
"Mas, telah kuberikan janji setiaku saat kau menikahiku. Jadi apapun itu, aku akan selalu menanti saat jumpaku denganmu. Karena raga dan hatiku telah kau miliki." Aku menjawab pintanya, lirih, tapi terdengar jelas pada hening malam yang selaputnya kian pekat.
"Berjanjilah, kau akan selalu menungguku. Seberat apapun hidup yang kau jalani saat aku tak bersamamu. Aku akan selalu kembali. You are my home. Please honey ...? pintanya sambil menggenggam kedua telapak tanganku.
"Mas, telah kuberikan janji setiaku saat kau menikahiku. Jadi apapun itu, aku akan selalu menanti saat jumpaku denganmu. Karena raga dan hatiku telah kau miliki." Aku menjawab pintanya, lirih, tapi terdengar jelas pada hening malam yang selaputnya kian pekat.
"Aku percaya dengan kesetiaanmu, Dek. Sekarang aku lega untuk meninggalkanmu. Sudah waktunya aku pergi. Cuma beberapa jam saja aku dapt ijin untuk menemuimu." Sesungging senyum dihadiahkannya padaku sambil mengecup bibirku lembut.
"Ah, tidak bisakah sebentar lagi saja bertahan di sini, Mas?" rengekku seperti anak kecil.
"Tidak bisa sayang. Waktuku sudah habis. Sudah sampai dipertiga malam. Sebaiknya kamu segera wudhu dan sholat. Doakan aku selalu ya. Pintakan sebuah waktu buat reuni kita kelak di surga." Dia berkata sambil perlahan melepaskan pelukanku. Berbalik, meninggalkanku.
"Maaas ...! Jangan pergiii!" Aku berteriak dengan suara parau. Bayang tubuhnya kian menipis, seiring kesadaranku kembali. Bangun dari mimpiku. Kuucap istighfar. Bergegas ke kamar mandi, wudhu. Lalu menggelar sajadah, larut dalam lantun doa di pertiga malam. Berharap sebuah kesetiaan cinta akan membawaku pada silent reunion dengan suamiku yang saat ini menunggu di keabadian.
7:01 PM
Titie Surya

Posted in:
4 komentar:
ya ampuuuunnnn smpai nangis baca bgian trakhirny, sebuah cinta sejati tetap menyatu walau hanya dalam sebuah impian, bahkan sampai berkeinginan bersatu kembali di syurga, Tx ceritany n q tnggu fksi mini berikutny....
Terima kasih untuk setiap apresiasinya kak Bahria ....
bunda....
""" kasi segelas coklat panas dan kue dorayaki buat tenangin bunda ...
( segala yang dari hati akan dalam terasa )
Maunya dorayaki beneran hehehhe
Post a Comment
Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih