Kupandangi raut wajahnya yang tertekuk berlipat-lipat. Meski berusaha dibauri dengan tawa, tetap saja segaris senyum sinis nampak jelas. Sebagai teman lamanya, meski bertahun-tahun baru bertemu lagi, aku paham kegelisahannya.
"Ah, sudahlah aku bukan tokoh, bukan pejabat. Nggak penting kan?" Dia berucap sambil melirikku.
Aku menggedikkan bahu sambil menyeruput es dawet di gelas yang tersisa setengahnya.
"Terus maumu apa?" tanyaku sambil menelengkan wajah menghadapnya.
"Ya nggak mau apa-apa. Tapi seharusnya mereka tuw tahu, aku looh senior ... yaaah meski bukan pejabat atau pengusaha siiih ..." ujarnya masih dengan gaya yang sok cool.
"Eeehm, apakah dalam duniamu ada strata? tingkatan dan golongan?" Aku kembali bertanya.
"Mbuh lah ... tapi ya kupikir, anak itu sok ngetop. Dia bisa mempengaruh mereka. Songooong ... masa maen coret namaku begitu aja. emangnya siapa dia? Huuh! Nyebelin!"
"Lah emangnya dia siapa?" tanyaku ingin tahu.
"Halah cuma pemain baru yang sok tahu. Dia bukan siapa-siapa. Heran aku, kenapa bisa kepake ya orang kaya gitu?" dengusnya sambil menyibakkan rambut yang bersilang warna putih uban dan merah cat rambut.
"Pasti dia punya sesuatu yang membuat dirinya menjadi penting saat ini," ucapku datar.
"Apa? Nggak ada, dia cuma pinter ngomong. Sukanya ngatur orang!" cercanya.
"Kenapa orang-orang yang diatur itu nggak pada protes?" Aku bertanya sambil membuka majalah di depanku.
"Ya itu lah, karena dia pinter ngomong. Makanya nggak ada yang protes. Sebel!"
"Apa sih kerjaannya dia?"
"Ehm, apa ya? Ah paling-paling juga cuma EO kacangan. Nggak ngetop! Nggak ...."
"Terus kenapa kamu harus marah? Bukannya kamu ngerasa lebih ngetop dan lebih keren dari dia? Nyante aja lah ...." kupotong ucapanya yang belum selesai. "Lagi pula kenapa sih kamu sewot gitu? Merasa tersaingi?"
"Ya sebeeel aja ... namaku dia coret dari daftar undangan. Alasannya sepele. Karena prioritas. Karena sistem! Bisa kupastikan pasti suaminya makan ati punya istri seperti itu, Tukang ngatur!"
"Loh kan jelas alasannya. Apa salahnya?" Aku bertanya kian sebal dengan kenyinyiranya.
"Sebab ...."
"Hai mas! Sudah dari tadi ya nunggu aku?" Ucapan perempuan nyinyir itu terpotong oleh suara merdu seorang perempuan yang menghampiriku. Mencium punggung tanganku dan mengecup kedua pipiku.
"Jadi ... dia ...?" Perempuan nyinyir itu menatapku dengan penuh tanya dan bingung.
"Ya, Dia ISTRIKU! Cantik, baik dan aku lebih tahu tentang dia lebih dari siapapun," sambarku sambil menggamit lengan perempuanku tercinta. Berlalu meninggalkannya yang terbengong-bengong, bingung. Rasakanlah!
7 komentar:
bunda ...
ff yg ini sukses beratttt
"" kasi coklat buat bunda ...
Nah bisa kan buka lewat hape? Eeehm seberat apa ya Ridwan? hehehe
fiksi yg berisi nilai moral untuk bisa menghargai eksistensi orang lain, dalam artian tdk memandang org lain dengan sebelah mata krna akan sangat memalukan kalau ternyata orang yang dipandang sepele tersebut memiliki 'kualitas hidup' yang lebih baik, good...aq suka, mau lagi dong cerita yang modelnya kayak gini, hehe...
Doakan aku agar selalu punya ide untuk menulis ya kak :) Terima kasih apresiasinya.
Loh, ini fiksi toh? Kirain cerita beneran..
Lah, ya jelas fiksi wong ada labelnya hehehe
Kerennya....hebat!
Post a Comment
Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih