Ada satu berita menarik tentang seorang "Mowgly Girl", Natasha Miakhailova, 5 tahun, yang ditemukan oleh para petugas perlindungan anak di sebuah flat di Rusia dalam keadaaan yang sangat memperihatinkan. Memakai pakaian usang dan robek-robek, pertumbuhan tubuhnya yang hanya nampak seperti anak berusia 2 tahun dan yang lebih memprihatinkan, dia hidup bersama sekumpulan kucing dan anjing yang menjadi "pengasuh"nya di dalam sebuah flat yang begitu amat jorok, kotor dan kumuh dengan bau menyengat yang luar biasa.
Natasha adalah korban kekerasan psikis orang tuanya. Ibu dan ayahnya telah berpisah selama lebih kurang 3 th. Sebelum mereka berpisah sang ibu pernah menuntut hak asuh atas Natasha pada ayahnya, namun entah mengapa, ia berhenti memperjuangkan hak asuh atas anaknya tersebut. Jadilah Natasha diasuh oleh ayah dan neneknya. Namun kenyataannya, sang ayah pun menelantarkannya dan tinggal di bagian lain dari flat itu bersama neneknya dan membiarkan gadis malang itu diasuh oleh kucing dan anjing-anjing mereka.
Saat ditemukanpun, Natasaha menunjukkan perilaku tidak selayaknya sebagai anak manusia. Dia tidak berjalan diatas kedua kakinya, melainkan berjalan dengan menggunakan kedua tangan dan kakinya selain itu dia pun tidak bisa bicara tapi menggonggong layaknya seekor anjing, makanpun tidak menggunakan kedua tangannya melainkan langsung melahap makanan dengan mulutnya seperti hewan.
Kata Mowgly dilekatkan pada Natasha mengingat kisah gadis ini mirip dengan seorang anak laki-laki dalam buku The Hero Of Jungle Book. Mowgly dibesarkan oleh sekumpulan srigala dan ditemukan di desa Santbadi, distrik Seonim, Madya Pradesh, India pada tahun 1931.
Seorang anak belajar dari lingkungan dimana dia dibesarkan dan oleh siapa dia diasuh. Bagaimanapun seorang anak adalah "selembar kertas putih" jika dilihat dari sudut pandang teori tabula rasa yang dipopulerkan oleh Sigmund Freud, seorang psikolog, yang bergantung pada siapa yang menggenggam dan menulisi kertas tersebut. Meski dia memiliki potensi sebagus apapun, tapi jika digenggam dan ditulisi oleh sosok yang salah dalam hidupnya, maka ia akan mengalami perkembangan yang salah pula.
Seperti sangat tidak masuk akal, dikehidupan yang sudah begitu sangat modern masih ada orang tua yang bisa menelantarkan anaknya sedemikian rupa. Sampai-sampai membiarkan anaknya diasuh oleh sekumpulan kucing dan anjing. Anak bukan boneka yang bisa kita letakkan sembarangan dan ditelantarkan sedemikian rupa.
Sungguh sangat leterlaluan jika perhari ini masih ada orangtua yang tega melakukan hal demikian pada anak yang jelas-jelas adalah bagian dari darah dagingnya. Pelecehan terhadap anak-anak kadang justru kerap dilakukan oleh orang-orang dewasa disekitarnya, termasuk orangtuanya.
Natasha adalah kasus terparah yang kubaca dan kutemukan. Beberapa waktu lalu aku sempat ngobrol dengan seorang teman yang memiliki 4 orang anak asuh yang diambilnya dari sebuah keluarga pemulung di sebuah wilayah kumuh di Surabaya.
Ke 4 anak tersebut disekolahkannya dan ayah dari anak-anak itu dibelikannya becak untuk menjadi alat mencari nafkah
Namun alih-alih anak-anak itu sekolah diantar oleh becak sang ayah, ke 4 anak tersebut justru selalu dijemput dari sekolahnya dan ditempatkan pada 4 titik berbeda untuk memulung. Setiap anak dijatah, anak pertama yang paling besar, wajib dapat Rp 75.000/hari, anak kedua Rp 50.000/hari, anak ketiga Rp 30.000/hari dan yang bungsu wajib setor Rp 20.000/hari.
Demikian hal tersebut berlangsung setiap hari dan baru diketahui oleh temanku sebulan setelah kejadian itu berlangsung.
Betapa terkejut dan kecewanya temanku tadi. Dia berusaha membujuk ayah dari ke 4 anak tersebut untuk mengijinkan anak-anak tersebut kembali bersekolah. Tapi apa yang didapat..?? dengan enteng sang ayah bilang,"mereka dilahirkan untuk berbakti dan membantu orangtuanya".
Masya Allah...dimata bapak tersebut anak adalah "aset" buat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Betul memang setiap anak punya kewajiban berbakti pada orangtuanya. Tapi apa lantas sang anak kehilangan haknya buat memenuhi kebutuhan dirinya termasuk kebutuhan akan pendidikan...?. Satu dari ke 4 anak tersebut akhirnya memutuskan minggat dari rumah orangtuanya dan nekad bersekolah di pondok pesantren dimana sang ayah tidak mungkin "merenggutnya" paksa untuk memulung kembali.
Dengan tidak menafikan keadaan ekonomi keluarga pemulung tadi, mestinya sang ayah bisa berfikir, bahwa dengan mengijinkan anak-anaknya bersekolah, kelak anak-anak tersebut akan lebih "berhasil guna", ini jika anak dianggap sebagai aset yang menghasilkan secara financial.
Apalagi ke 4 anak tersebut dibiayai sekolahnya dan si ayah diberi modal kerja pula dengan becaknya.
Itu baru secuil potret pelecehan psikis anak oleh orangtuanya. Kembali pada kasus Natasha, kedua orangtuanya, terutama ayah yang menelantarkannya, berhak mendapat hukuman yang setimpal dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap anak perempuannya tersebut yang tidaj hanya melecehkan secara fisik tapi juga psikisnya.
Anak bukan benda mati yang bisa diperlakukan seenaknya. Anak adalah amanah yang harus dijaga, dirawat, dididik dan kelak kita mempertanggungkawabkannya di pengadilan akhirat.
Karena setiap kita adalah pemimpin atas apa yang dipimpinnya, termasuk anak dan keluarga.
Semoga tidak ada lagi Natasha lain yang mengalami hal serupa, karena sungguh anak adalah masa depan suatu keluarga, bangsa dan negara.
0 komentar:
Post a Comment
Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih