Tidak diberikan kepada seseorang yang berilmu akan ilmu, melainkan telah diambilnya janji seperti yang diambilnya daripada nabi-nabi, bahwa mereka akan menerangkan ilmu itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikannya. (HR Abu Na'im).
Mulanya aku tidak faham sangat arti tersirat dari hadits di atas. Apa yang menyebabkan seseorang yang diberi ilmu disetarakan dengan para nabi dalam hal diambil janjinya. Sungguh semua terasa absurd dan sulit dijangkau oleh akalku.
Padahal para nabi mengalami banyak hal yang sulit dalam menjalankan risalah yang diberikan kepada mereka. Banyak hal kudapat tentang sulitnya mengemban risalah kenabian terutama yang diterima oleh nabi Muhammad SAW, setelah aku membaca buku shiroh nabawiyah. Betapa kesulitan dialaminya dalam menyampaikan dan menerangkan risalah kenabian kepada manusia pada masanya. Betapa ujian terberat bagi para nabi adalah keluarganya.
Nabi Adam As mengalami ujian lewat buah hatinya, Nabi Nuh As pun diuji dengan ketidak taatan istri dan anaknya dalam risalah kenabian, Nabi Ibrahim As diuji dengan kekafiran sang ayah, Nabi Luth diuji dengan ketidak taatan istri dan anaknya, bahkan nabi Muhammad Saw tidak mampu menyelamatkan Abu Thalib, paman yang dicintainya, dari kekafirannya hingga maut memisahkan mereka.
Setelah membaca buku-buku shiroh nabawiyah dan merenungkan perjalanan para nabi seperti tertulis di dalam Al-Qur'an, aku menemukan benang merah antara hadits yang kubaca dengan makna tersirat dari disamakannya orang yang diberi ilmu dengan para nabi.
Para nabi mengemban amanah risalah yang harus mereka sampaikan kepada umat pada masa mereka, lengkap dengan segala ujian dan penderitaaan yang dialami dalam rangka membuat risalah kenabian tumbuh subur di muka bumi, tapi mereka tak pernah surut melangkah meski ujian terberat adalah keluaraga mereka sendiri.
Kucoba merefleksikan perjalanan hidupku berkaca dari hadits tersebut. Bermula dari ketertarikanku untuk belajar tentang ilmu kesehatan sampai alhamdulillah Allah mudahkan aku untuk mencerna dan memahami ilmu tersebut, hingga kini Allah perkenankan aku mengamalkan sedikit ilmu yang kupunya.
Kurasakan benang merah kian nampak jelas, bagaimana dengan ilmuku aku justru tidak sanggup mengobati almarhum suami dan anakku. Inilah ujian terberat buat seorang terapis seperti aku. Saat menghadapi orang-orang tercinta sakit, aku harus bisa mengalahkan kepanikan, kecemasan dan kelemahan diri agar tetap bisa konsentrasi mengobati mereka. Jika pada akhirnya kematian menjemput mereka itu adalah qodarullah yang harus kuterima dengan ikhlas meski kesedihan merajai hati.
Inilah janji yang dimaksud secara tersirat dari hadits tersebut. Inilah ujian yang juga harus kuterima dan kuatasi dalam perjalananku sebagai terapis, sebagai pengemban ilmu yang Allah telah mengambil perjanjian dariku. Maka apakah aku akan luruh dalam ujian yang kualami?, apakah aku harus berhenti sampai disini, saat kematian sekali lagi menjemput putraku tercinta?.
Allah telah mengambil janji dariku saat memberiku ilmu keterapisan, maka apapun yang kualami, seberat apapun ujian yang diberikanya padaku, maka adalah menjadi kewajibanku untuk tetap menyebarkan ilmu dan menjadikannya maslahat dimuka bumi.
Subhanallah...selalu Maha Benar Allah dalam setiap kehendaknya. Seharusnya hadits tadi menjadi pemicu bagiku, karena bagaimanapun sebuah pintu ilmu telah Allah buka kan bagiku, telah dimudahkannya aku untuk mempelajari ilmuNya.
Sebuah perjalanan mengemban risalah ilmu adalah juga sebuah perjalanan panjang dan berat, bertabur duri dan tidak beralas karpet merah bertabur mawar. Namun perjalanan ini telah dimulai, kapalku telah kubakar dibelakangku, maka tak ada cara untuk mundur melainkan terus maju dengan segala kerendahan hati dalam setetes ilmu yang yang diamanahkan padaku.
Satu hal yang kuyakin aku tak pernah sendiri dalam ujian ini, teman-temanku sesama terapis pun mengalami ujian yang nyaris sama dengan kadar duka yang berbeda, ya ujian buat kami para terapis adalah justru kesehatan anggota keluarga kami. Disini keprofesionalitasan kami diuji. Mampukah kami terus mengemban amanah ilmu dalam selaksa ujian nan memedihkan, ataukah kami terhempas dalam ketakberdayaan diri terpenjara duka.
Semoga semakin banyak kutemukan hikmah dalam perjalanan bersama ilmu yang diamanahkan padaku, semoga selalu ada sahabat penopang sukma dalam setiap ujian yang kulalui. Semoga aku tak larut dan terpuruk dalam ujian kehilangan orang-orang tercinta diantara amanah mengemban risalah ilmu ini. karena kuyakin, "apapun itu jika kamu kehilangan, niscaya akan ada penggantinya, tapi tidak akan pernah ada pengganti jika kamu kehilangan Allah Swt",(Ibnu Qayyim Al-Zaujiyyah).
0 komentar:
Post a Comment
Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih