Monday, May 11, 2015

A Journey Of Wedding

This love is the second chance of our life.
~Titie's Quote~

Sejak kemarin, ada degupan di kisi-kisi hati. Serupa rasa saat menanti kedatangan seorang kekasih. Padahal yang kunanti hanya sebuah tanggal. 11 Mei 2015. Sebuah tanggal yang penuh arti buatku, tentu juga buat suamiku. Tanggal yang menandakan setahun perjalanan cinta kami dalam ikatan suci bernama pernikahan. 

Bukan sebuah perjalanan mulus yang melulu bertabur mawar di setiap lintasannya. Kerap ada kerikil-kerikil kecil yang perlahan kami singkirkan ke tepian secara bahu membahu. Kerikil-kerikil yang kami sulap menjadi sebuah jalan setapak yang bisa kami lalui dengan bertelanjang kaki. Anggaplah kami sedang melakukan pijatan pada titik-titik refleksi di kaki yang akan menyehatkan dan menyegarkan body, mind, and soul.

Setelah melewati perjalanan berlumur kecewa, duka, dan airmata, Allah mempertemukan kami dengan cara yang unik. Buat kami, pernikahan ini adalah kesempatan kedua dalam kehidupan yang akan dijaga sepenuh jiwa agar iramanya tetap selaras dengan alunan cinta. 

Setahun memang baru permulaan dalam perjalanan sebuah pernikahan. Masih akan ada riak dan gelombang yang akan menghadang di depan. Orang bilang, setahun sedang manis-manisnya. Sedang rindu serindu-rindunya pada belahan jiwa. Namun berkaca dari pengalaman, sepertinya tak hendak kami biarkan jelaga mewarnai kesempatan kedua ini. 

Cukup banyak cerita dalam setahun ini. Suamiku yang pendiam, tak banyak beraktivitas, menjadi lebih banyak bicara karena kulibatkan dalam aktivitas-aktivitasku. Takkan ada cerita sukses dalam setiap aktivitasku tanpa dukungannya. Ia yang tak banyak mengungkapkan kata cinta, menjadi lebih ekspresif karena "kupaksa" untuk mengungkapkan cintanya tiap kali padaku hahaha. Karena perempuan selalu butuh bahasa verbal dari suaminya untuk merasa dicintai, bukan? Pendek kata, suamiku jadi lebih gaul dooong hahaha ....

Aku pun menjadi terlibat dalam jalinan pertemanan bersama sahabat-sahabatnya. Menyenangkan. Kami jadi kompak dalam banyak hal. Tak cuma sesuatu yang mengurai tawa, bahkan pada moment-moment yang memicu kesedihan dan kepanikannya. Seperti saat mama sakit. Kutahu suamiku tak cukup berpengalaman dalam urusan rumah sakit. Tugaskulah sebagai istri untuk menenangkan hatinya dan membantunya berbakti pada orangtua dengan mengambil alih segala urusan rumah sakit. Lalu segala keletihanku wira wiri ke rumah sakit, sirna dalam sekejap, setiap kali ia merengkuhku, membawa ke pelukannya. 

Darinya aku belajar mengendalikan waktu untuk tak beraktivitas berlebihan di luar rumah. Sebisa mungkin aku sudah di rumah sebelum ia pulang kerja. Jikapun terpaksa harus beraktivitas melebih batas toleransi waktu, aku selalu memohon ijin dan keridhoannya. Bagaimanapun saat ini aku adalah seorang perempuan bersuami yang harus bisa menyelaraskan waktu kerja, aktivitas sosial, hobby,  dan urusan rumah tangga. 

Bersamanya aku menjadi lebih berani untuk bermimpi dan menyusun langkah satu persatu untuk meraih setiap mimpiku. Mimpi-mimpi yang kususun untuk membahagiakan suami, mama, ayah, dan adik-adikku. Cintanya menjadi energi booster buatku meraih bintang di ketinggian. Untungnya suamiku bukan type lelaki yang mengekang istrinya di rumah. Ia sangat tahu kapasitas istrinya yang tidak bisa duduk manis di rumah. Ia sangat paham bahwa setiap ide di kepalaku butuh pelepasan. Ia pun tahu bahwa setiap peluang yang menghampiriku adalah dukungan semesta untuk meraih mimpi-mimpiku. Maka keridhoannya menjadi penyejuk hati dan memperingan langkahku. 

Lalu, fabiayyi a'ala ii robbikuma tukadzibaaan .... nikmat mana yang bisa kami dustakan? Mungkin kami masih belum terlalu pandai bersyukur. Tapi setiap detik yang berlalu adalah untaian dzikir cinta pada Sang Mahacinta. Meski dengan cara sederhana, cinta mengajarkan kami untuk senantiasa melembutkan hati, terhadap setiap kejadian yang menghampiri. Untuk selalu menganyam kesabaran di atas masalah-masalah yang kadang terlihat berat. Namun dengan bergenggaman tangan membuat tak ada yang tak mungkin untuk dilalui. Aku dan suamiku bukanlah satu, melainkan dua jiwa berbeda yang terus belajar untuk menyejajarkan langkah, menyatukan irama cinta, dalam perjalanan panjang sepanjang sisa usia. Jika hari ini Allah belum memberi amanah seorang anak dalam pernikahan kami, maka itu adalah sebuah kesempatan yang Allah beri agar bisa berbuat lebih banyak untuk orang-orang tercinta dan untuk banyak orang di sekeliling kami. Semoga Allah membantu kami untuk selalu bisa meraih pelajaran dan hikmah dari setiap peristiwa. 



*Duri Kepa, 11 Mei 2015. 
Terima kasih untuk suamiku yang telah menjadikanku belahan jiwanya. Terus belajar bersama yuuuk, Maaas ....



2 komentar:

Akarui Cha said...

Semoga langgeng selalu ya Bunda.

Unknown said...

semoga selalu langgeng sampai akhir hayaat,, sabar dan siaplah dalam setiap masalah yang datang :)

Post a Comment

Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih

Followers

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting