Wednesday, March 14, 2012

Pada Sebuah Akad

Penampilan Paramitha dalam Puncak Acara Festival Lan Fang berupa parade pembacaan puisi tanpa henti selama 11 jam, menjadi pamungkas sekaligus membuat puisiku berjiwa. Sebuah puisi hanya akan menjadi coretan di atas kertas belaka, manakalah tidak ada orang-orang hebat yang membuat puisi itu menjadi bermakna. Puisiku yang sangat sederhana menjadi hidup di atas pentas dengan pembawaan yang total secara teatrikal. Inilah puisiku yang dibawakan oleh Mitha dengan iringan musik cantik dari Filesky.

Pada Sebuah Akad
Oleh Titie Surya

Aku berputar-putar di depan cermin
Bak putri melayang, datang dari angkasa
Bergaun cantik, anggun dan mempesona
Menapakkan jejak di bumi dengan jelita

Sepasang mata menggemintang menatapku
Berbalut cinta, dengan kasih penuh seluruh
Sebaris senyum meruap tawa
Tak cuma dari bibir, utuh dari hatinya

Duuh … jangan tatap seperti itu
Aku bukan lagi gadis kecil berkepang dua
Dengan pita warna warni di ujungnya

Aaah … tawamu kian berderai
Dengan isyarat mata, kau pinta aku
Melabuhkan jenak dalam pelukmu

Seperti bayi, kusurukkan kepala
Pada lembut dadamu, tempat aku pernah menyusu
Dengan iringan degup jantung halus dan lembut

Perlahan, senyumku … pecah menjadi tangis
Bukan … bukan karena aku tak lagi
Bisa menyusu padamu
Melainkan payudaramu yang dulu
jadi sumber kehidupanku kini mengkerut
Jadi derita, jadi jeruk yang kecut

Ibu belum cukup waktuku untuk bahagiakanmu
Bahkan ketika hari ini, saat ini
Aku mengenakan gaun pengantin pemberianmu
Untuk menuju altar, kulihat kau mengering, kau gerimis
Bukan karena kau akan kehilanganku
Melainkan kau akan meninggalkanku

Tidak!! Ibu!!
Kau seperti menyerah dalam ketidakberdayaan
Kau diam, kau kaku, kau tidak bergeming
Ketika tanganku memelukmu, kau dingin!

Ibu ... kumohon sekali ini
Jangan tinggalkan aku, bimbing tanganku
Bawa aku menuju altar
Seorang lelaki tegap telah menunggu ibu,
Menunggumu menanti restu
Ibu ... please dont die

Tapi Tuhan sudah berkehendak
Waktupun henti berdetak
Ibu diam, aku diam
Ibu beku, aku beku
Ibu dingin, aku getir
Aku terhenti dan mengalir

Ibu, aku terbangun dari mimpiku
Aku sedang berada dalam pusara airmata
Kau meninggalkanku pada akad itu
Meninggalkan berjuta asa yang mengudara

Ibu belum cukup waktuku untuk bahagiakanmu
Belum puas aku merana dalam dukaku
Biarkan aku tirus menatap cermin
Mendera perih yang menyayat sayat
Dan melepuhkan seluruh badanku
Biarkan aku Ibu, larut dalam dukamu

Dan ketika nanti aku tegap berdiri
Kan kuseru kepada semua ibu, semua perempuan sepertiku
Bahwa kita mampu, kita bisa membunuh kanker itu
Sebelum mereka membunuh kita


Lihat ibu … betapa cantiknya aku
Dalam balutan gaun pengantin pemberianmu
Lihat ibu … anakmu tak lagi seorang gadis kecil
Yang berlari, jatuh, lalu menangis
Meski kini harus kulalui hari tanpamu

(Srikana, 25 FEbruari 2012. Dengan sedikit modifikasi oleh Mitha)



2 komentar:

Anonymous said...

cantik n tajam membelah ^_^

gina syairko said...

Saya suka dengan puisi, tetapi tidak bisa membaca puisi :(

Post a Comment

Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih

Followers

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting