Penampilan Paramitha dalam Puncak Acara Festival Lan Fang berupa parade pembacaan puisi tanpa henti selama 11 jam, menjadi pamungkas sekaligus membuat puisiku berjiwa. Sebuah puisi hanya akan menjadi coretan di atas kertas belaka, manakalah tidak ada orang-orang hebat yang membuat puisi itu menjadi bermakna. Puisiku yang sangat sederhana menjadi hidup di atas pentas dengan pembawaan yang total secara teatrikal. Inilah puisiku yang dibawakan oleh Mitha dengan iringan musik cantik dari Filesky.
Pada
Sebuah Akad
Oleh
Titie Surya
Aku
berputar-putar di depan cermin
Bak
putri melayang, datang dari angkasa
Bergaun
cantik, anggun dan mempesona
Menapakkan
jejak di bumi dengan jelita
Sepasang
mata menggemintang menatapku
Berbalut
cinta, dengan kasih penuh seluruh
Sebaris
senyum meruap tawa
Tak
cuma dari bibir, utuh dari hatinya
Duuh
… jangan tatap seperti itu
Aku
bukan lagi gadis kecil berkepang dua
Dengan
pita warna warni di ujungnya
Aaah
… tawamu kian berderai
Dengan
isyarat mata, kau pinta aku
Melabuhkan
jenak dalam pelukmu
Seperti
bayi, kusurukkan kepala
Pada
lembut dadamu, tempat aku pernah menyusu
Dengan
iringan degup jantung halus dan lembut
Perlahan,
senyumku … pecah menjadi tangis
Bukan
… bukan karena aku tak lagi
Bisa
menyusu padamu
Melainkan payudaramu yang dulu
jadi sumber kehidupanku kini mengkerut
Jadi derita, jadi jeruk yang kecut
Ibu belum cukup waktuku untuk bahagiakanmu
Bahkan ketika hari ini, saat ini
Aku mengenakan gaun pengantin pemberianmu
Untuk menuju altar, kulihat kau mengering, kau gerimis
Bukan karena kau akan kehilanganku
Melainkan kau akan meninggalkanku
Tidak!! Ibu!!
Kau seperti menyerah dalam ketidakberdayaan
Kau diam, kau kaku, kau tidak bergeming
Ketika tanganku memelukmu, kau dingin!
Ibu ... kumohon sekali ini
Jangan tinggalkan aku, bimbing tanganku
Bawa aku menuju altar
Seorang lelaki tegap telah menunggu ibu,
Menunggumu menanti restu
Ibu ... please dont die
Tapi Tuhan sudah berkehendak
Waktupun henti berdetak
Ibu diam, aku diam
Ibu beku, aku beku
Ibu dingin, aku getir
Aku terhenti dan mengalir
Ibu, aku terbangun dari mimpiku
Aku sedang berada dalam pusara airmata
Kau meninggalkanku pada akad itu
Meninggalkan berjuta asa yang mengudara
Ibu belum cukup waktuku untuk bahagiakanmu
Belum puas aku merana dalam dukaku
Biarkan aku tirus menatap cermin
Mendera perih yang menyayat sayat
Dan melepuhkan seluruh badanku
Biarkan aku Ibu, larut dalam dukamu
Dan ketika nanti aku tegap berdiri
Kan kuseru kepada semua ibu, semua perempuan sepertiku
Bahwa kita mampu, kita bisa membunuh kanker itu
Sebelum mereka membunuh kita
Lihat
ibu … betapa cantiknya aku
Dalam
balutan gaun pengantin pemberianmu
Lihat
ibu … anakmu tak lagi seorang gadis kecil
Yang
berlari, jatuh, lalu menangis
Meski kini harus kulalui hari tanpamu
(Srikana, 25 FEbruari 2012. Dengan sedikit modifikasi oleh Mitha)
2 komentar:
cantik n tajam membelah ^_^
Saya suka dengan puisi, tetapi tidak bisa membaca puisi :(
Post a Comment
Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih