Tuesday, November 4, 2014

Bicaralah, Jika Ingin Sakinah

Sebuah perjalanan, apapun dimensi bentuk dan waktunya, selalu memiliki kisahnya tersendiri. Mungkin bukan kesederhanaan atau ingar bingar perjalanan itu yang harus dikisahkan, melainkan proses berjalan di dalamnya yang layak dicatat menjadi sebuah pembelajaran.

Tadi pagi, seorang teman mengatakan padaku ingin menggugat cerai suaminya. Dengan alasan, suaminya tidak bisa memahaminya. Tidak memberi nafkah yang cukup, tidak romantis, dan jenis tidak yang lain-lain. Sederet kekurangan suami yang dipaparkannya, membuatku mengernyitkan dahi. Lalu dulu kalian menikah atas dasar apa?  Apa karena dibutakan cinta? Sehingga yang pahitpun serasa cokelat? lalu sekarang semua lebih terasa pahitnya dan bikin mual, muntah, perih, kembung .... 

Saat kutanya, apakah suaminya pernah melakukan KDRT baik verbal maupun fisik? Dijawabnya, tidak. Sang suami lebih memilih diam, lalu pergi jika mereka ribut-ribut. Kubiarkan ia menangis. Setelah reda, kucoba beri dia masukan. Tapi semua ucapanku dimentahkannya. Ia merasa semua yang dilakukannya sudah benar. Ia benar, dan sang suami yang salah. Oooh ya sudah ... sepertinya ia perlu "ditampar" Mengutip mbak Didi, kalau orang curhat diberi nasehat tidak bisa, ngeyel, merasa benar, dan malah semakin emosional, ya jalan satu-satunya disadarkan dengan "keras" 

Aku cuma bilang satu kalimat, "Suamimu bukan fortune teller. He is not a robot too. And you are not an angel. Dont be selfish. I know you are. I can't pretend that you are  right.I can't stand on your side. Go home. Think, think, and think!"

Dia terperangah, lalu memaki, "Kamu bukan teman yang baik! kecewa aku sama kamu!" lalu ia pergi meninggalkan kantorku.

Its ok. Ini bukan pertama kali ia curhat seperti itu padaku. Aku bukan tidak memahami perasaannya sebagai perempuan. Di sisi lain aku juga kenal siapa suaminya. Dari tahun ke tahun aku mengamati rumah tangga mereka. Aku cukup tahu bagaimana ia bersikap pada suaminya.

Sebuah rumah tangga tidak dibangun berdasarkan keinginan seseorang, melainkan dua orang yang harus bisa mengharmonikan perjalanan menjadi selaras, seirama. Bukan lagi masanya perempuan berdiam diri, pasif sebagai istri. Bicaralah, jika memang ada yang harus dibicarakan. Bertindaklah, jika sesuatu itu bisa diubah dengan tindakan. Apa kalau suami tidak romantis, lalu sang istri diam, si suami bisa berubah? Suami bukan peramal yang tahu isi hati istrinya. Katakan, lakukan, contohkan apa yang kita mau sebagai istri. Suami yang baik pasti akan belajar, mencermati, dan mengubah kebiasaan buruknya demi rasa cinta dan sayangnya pada sang istri.

Enam bulan sudah aku menjalankan peran sebagai seorang istri buat suami tercinta. Lebay sepertinya kalau rumah tangga yang baru kujalani selama enam bulan disebut sebagai rumah tangga ideal. Rumah tangga kami masih merangkak dan belajar berjalan tegap. Tapi satu hal yang ingin kukatakan, dalam perjalanan ini kami belajar untuk saling memahami. Untuk saling bicara apa yang kami mau. 

Seperti pernah kutulis, suamiku bukan tipe lelaki romantis. He never say I Love You, kecuali di awal dia nembak aku. Lalu apa harga diriku jatuh, jika sering-sering aku bilang padanya, "Ade sayang sama Mas" No! Its A Big NO. 

Suamiku juga bukan tipe lelaki touchy, yang suka menyentuh, mencium ringan, atau sekedar cuddling. Apa lantas aku berubah jadi bitchy, kalau mencium, memeluk dan berlaku a bit wild padanya? Tentu saja tidak! He is my husband. Jadi aku punya hak untuk berlaku apapun padanya sebagai proses pembelajaran baginya untuk tahu apa yang kumau dilakukannya padaku.

Dalam rumah tangga tidak ada kata "aku lebih dari dia." Atau gengsi dalam melakukan atau mengatakan sesuatu. Rumah tangga adalah sekolah untuk belajar bersama menuju perubahan yang lebih baik dari hari ke hari. Kami berdua adalah pembelajar dalam rumah kehidupan yang kami bangun atas dasar kesadaran bersama.

Menyoal ekonomi, ketika hati kita memutuskan untuk menikah dengan seorang lelaki yang secara sadar kita pilih menjadi suami, tentu tahu bagaimana kapasitasnya dalam urusan ekonomi. Buatku seorang lelaki, seorang suami dapat disebut bertanggung jawab ketika ia memiliki etos kerja, tetap punya penghasilan. Soal cukup atau tidak, pilihannya ada dua. Turunkan standard hidup, atau sang istri juga bekerja membantu menopang kebutuhan rumah tangga. Bukankah Khadijah RA juga menopang biaya dakwah suaminya, Rasulullah SAW? Dan Zainab, istri Rasulullah yang lain juga membuat anyaman bambu untuk menopang biaya rumah tangga dan bersedekah membantu sesama yang kekurangan. 

Sudah bukan masanya perempuan hanya menunggu gaji bulanan suami. Perempuan bisa berdaya dan mandiri dalam urusan ekonomi. Bukan untuk menandingi atau bersaing dalam hal penghasilan dengan suami. Bukan juga untuk menginjak harga diri suami jika penghasilannya lebih besar. Perempuan bersuami, bekerja semata dalam rangka Fastabiqul Khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Bukankah dengan berpenghasilan, kita bisa bersedekah, berinfaq, dan melakukan banyak hal baik dengan tidak mengurangi jatah belanja rumah tangga? Bukankah sebagai istri pekerja juga bisa membantu suami mensejahterakan rumah tangga? Bekerja buat para istri membuka lebih banyak lahan untuk menyemai kebaikan. Lalu sampai kapan seorang istri bekerja menopang rumah tangga? Sekali lagi, bicarakanlah dalam suasana tenang dengan pasangan masing-masing, tanpa emosi. Tidak ada masalah yang akan selesai jika keran komunikasi tidak dibuka lebar-lebar. 

Rumah tangga seperti bertepuk tangan. Tidak akan ada suara meriah jika hanya sebelah tangan. Butuh dua tangan untuk menyemarakan suasana rumah tangga. Juga butuh dua hati yang saling ikhlas mengingatkan dalam kebaikan. Di atas segalanya, doa adalah kunci pembuka segala kesulitan. Jadikan rumah tangga sebagai proses ibadah bersama, kebersamaan yang harmoni antara imam dan makmumnya. Sakinah, mawaddah dan rahmah bukan sekedar slogan. Melainkan sebuah tujuan yang harus diupayakan. Sulit? Bukankah bersama kesulitan akan selalu ada kemudahan? Fabbi ayyi a'la ii robbikuma tukadziban ....

*Dedicated to my husband with love. Yuuk belajar bersama, mas ...

*Palapa, 5 November 2014. 



2 komentar:

Akhmad Muhaimin Azzet said...

Kunci pentingnya ada di komunikasi yang baik ya, Mbak.
Makasih banyak ya, Mbak. Siang ini saya mendapatkan pelajaran yang penting dalam membangun hubungan yang harmonis dalam keluarga.

Titie Surya said...

Aaah Ustadz iniiii .... tentu ustadz lebih tahu dari saya. :)
Anyway terima kasih kembali ya Ustadz

Post a Comment

Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih

Followers

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting