Wednesday, May 7, 2014

Surabaya, Sebuah Kenangan Tanpa Akhir (Part 1)

Setelah sekian lama blog ini berdebu, tanpa disentuh, tak dibersihkan, tak ditengok, mirip rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya jalan-jalan. Terpaksa harus nyapu-nyapu dulu, bersih-bersih dulu, masak air, nyeduh cokelat panas, baru duduk manis di sudut ternyaman buat menulis.

Aku ingin berayun sejenak di kursi malas di sudut ruangan ini, sambil menerawang ke sudut-sudut kenangan. Melihat lagi jalan-jalan yang telah kulintasi. Mengintip kemasan-kemasan rasa yang terbingkai manis di sebuah kota bernama Surabaya.

Surabaya? Ya Surabaya. Sebuah kota tempat aku dilahirkan kembali menjadi sosok pribadi baru, bak bayi terlahir dari rahim sang ibu. Sebuah kota yang bahkan tak pernah sebelumnya terangan untuk menjadi tempat tinggal. Surabaya yang telah menjadi tanah kelahiran kedua, home sweet home yang sarat dinamika. 

Menjadi salah satu warga di kota "seribu taman" yang asri, adalah sebuah kebanggan tersendiri. Aku yang bukan siapa-siapa, yang datang ke kota ini dengan jiwa yang terkoyak dan berdarah-darah, mendapatkan ribuan cinta dan kasih sayang yang menumbuhkan jiwa. Cinta yang membesarkanku menjadi sosok yang memiliki nama. Bukan sekedar nama yang disematkan, melainkan sebuah keberartian hingga diri ini memiliki kemampuan untuk berbagi kasih, ilmu, dan pengalaman.

Sebuah perjalanan yang bermula dari kepercayaan seorang Mayoko Aiko, yang memberiku amanah untuk mengelola, menjaga, dan membesarkan komunitas penulis bernama CErita Nulis Diskusi On Line (CENDOL) Chapter Jawa Timur (BONEKTIM), membuatku menjelma menjadi sosok bunda bagi ribuan anak, kakak bagi ribuan adik, dan mitra bagi banyak komunitas. 

Berawal dari koordinator CENDOL Jawa Timur, aku melakukan penetrasi komunikasi dengan banyak penulis, seniman, pekerja seni, pejabat birokrasi, hingga para pedagang di seputaran pasar Karang Menjangan. Sebuah hubungan simbiosis mutualisme yang menjadi sebuah jalinan pertemanan yang berkembang dengan baik. 

Bersama BONEKTIM, melahirkan sebuah proyek mengajar anak-anak di area lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, membuatku seringkali harus blusukan di Doli. Mengeja dengan terbata sebuah kehidupan yang kerap diatasnamakan sebagai takdir, kehidupan anak-anak yang memiliki lubang menganga di jiwanya. Kehidupan yang bersicepat dengan derap lendir pekerja seks komersial yang disuling ratusan kali oleh para penikmatnya. Aku menemukan banyak kearifan, ketulusan, kasih sayang, dan harapan yang perlahan tumbuh dari anak-anak tak berdosa yang bahkan tak pernah meminta dilahirkan di lingkungan hitam, bahkan dari rahim para penjaja syahwat. Meski harus seringkali kuhapus airmata diam-diam tiap kali anak-anak tersebut bercerita atau mengadu banyak hal padaku.

Tak cuma blusukan di Doli. Pertemuan rutin bulanan yang kusebut KOPDAR, menjadi media untuk mengeratkan persaudaraan di antara anggota BONEKTIM, juga media sharing karya. Rasanya bahagia tiap kali anggota BONEKTIM berhasil menerbitkan buku-buku karya mereka. 

Lewat aktivitas bersama BONEKTIM, aku mengenal Didi Cahya (penyiar), Evie Suryani (Humas BARPUS Kota Surabaya), Wina Bojonegoro (penulis senior), Heti Palestina (Pekerja media), Alm. Johan Budhie Sava (pemilik jaringan tobuk Togamas), komunitas Sae Sanget, Arini Pakistyaningsih (Kepala BARPUS kota Surabaya) ,dan masih banyak nama lagi yang mewarnai perjalanan seorang Titie Surya.

Bersama mereka aku berkiprah dalam banyak suasana. Menghasilkan karya, mengisi panggung-panggung seni dan perbukuan, serta menularkan virus menulis lewat workshop di sekolah-sekolah, dan pelatihan bagi ratusan petugas teknis perpustakaan. Hidup menjadi sangat bergairah dan penuh warna buatku. Tiada hari untuk bermenung apalagi sekedar memanjakan kegalauan, dan meratapi luka-luka yang pernah ada.

Bahagia adalah pilihan. Aku memilih bahagia dengan mengembangkan pikiran positif dan beraktivitas di segala bidang yang mampu kulakukan. Kuyakin bukan tanpa maksud Allah memperjalankan aku melewati banyak lintasan dan peristiwa. Satu hal kuyakin, apapun luka-luka dan noda masa lalu setiap orang, masa depannya masih suci. Surabaya menjadi kawah candradimuka buatku mengembangkan aura positif dalam diriku. Mengutip ucapan Didi Cahya, " Titie Surya yang pertama kali saya wawancarai di radio Smart FM, berbeda dengan Titie Surya hari ini. Dia lebih ceria, lebih memancarkan aura bahagia."

Kusesap cokelat panas yang mulai mendingin. Kusandarkan punggungku ke kursi malas sambil meregangkan kedua tangan ke udara. Kulemparkan pandanganku pada langit-langit. Memetakan wajah-wajah yang kurindukan. Aaah ... rinduku pada mereka serupa rinduku pada setiap sudut Surabaya. Aku ingin mengistirahatkan mata dulu sejenak, sambil tersenyum pada setiap wajah yang bermain di dalam benakku. 

*Duri Kepa, 08 Mei 2014. Pukul 11.45




2 komentar:

Lidya Fitrian said...

bahagia pilihan tiap orang ya, aku juga mmeilih untuk bahagia :)

Titie Surya said...

MAri berbahagia bersama, mbak @lidya ...

Post a Comment

Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih

Followers

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting