Monday, June 23, 2014

Surabaya, Sebuah Kenangan Tanpa Akhir (part 2)

Launching HIIB
Apa rasanya kehilangan separuh dari kehidupanmu? Kehilangan hari-hari di mana kamu merasa hidup dengan segala aktivitas yang menyegarkan dan menumbuhkan jiwa. Itu yang saat ini sedang kualami. Rasanya seperti ada lubang hampa udara di dalam jiwa. 

Aku rindu Surabaya. Terlebih rindu dengan aktivitas berkesenian, nyastra dan diskusi-diskusi ringan yang kerapkali menimbulkan ide-ide segar yang mengalir tiada henti. Tercatat aku telah kehilangan dua momen berkelas sejak kutinggalkan Surabaya. 

Pertama, aku tidak bisa menghadiri launching buku Hidup Ini Indah, Beib. Buku yang sempat kukawal proses editingnya dan berisi empat tulisanku. Setiap karya untukku adalah anak jiwa yang dikandung dan dilahirkan sepenuh hati. Aku mencurahkan isi kepala dan hatiku dalam buku ini. Buku ke 14 yang kulahirkan dari hatiku. 

Membayangkan keceriaan, sorot kamera, liputan media dan haha hihi bersama 36 penulis yang semuanya perempuan, cukup membuat hatiku ngilu. Tanpa terasa ketegaran yang kubangun merembes diam-diam dari kelopak mata. Meski aku masih bisa berkomen-komen via facebook, tapi kebahagiaan itu tak purna tanpa aku berada di sana, Rolas Cafe, tempat buku itu diluncurkan. 

Nobi Darsini dan Stebby Whiji
Kedua, aku kehilangan kesempatan menyaksikan Mbak Wina nyinden, Shenobi dan Stebby menari tayub sebagai Darsini dan Kang Widji, Denny Tri Aryanti yang bermonolog, dan tentu saja proses yang mengiringi anak jiwa ke 8 seorang penulis keren, Wina Bojonegoro. Ah ya, tentu aku juga kehilangan kesempatan menyakskan kerempongan seorang stage manager, Didi Cahya, si among tamu Evie Suryani, dan si mungil Heti Palestina Yunani yang enerjik. Duuh membayangkan keceriaan suasana di Perpustakaan BI yang mengawinkan seni dan sastra di atas pentas, rasanya nelongso, Sumpaaah nelongso. Lebay mungkin, tapi itu rasaku.

Denny Tri Aryanti
Setiap pilihan tentu membawa konsekwensi yang mengiringinya. Bukan berarti aku tak bahagia dengan kehidupanku hari ini, bersama suami dan aktivitasku sehari-hari. Tapi sungguh, ada yang sunyi di sudut hati. Bahkan akhir-akhir ini otak kananku nyaris beku. Jemariku sulit diajak menari melahirkan barisan cerita. Sepertinya aku butuh dopping. Sayangnya dopping itu berarti aku harus ke Surabaya, meski cuma untuk satu atau dua hari. 

Surabaya memang bukan tanah kelahiranku, but its like home for my soul. Sebuah rumah di mana aku ingin selalu kembali. Sebuah keluarga di mana aku ingin selalu didekap dalam peluk hangat mereka. Sebuah tempat di mana aku merasa berarti dalam segala kemampuan diri.

Aaah ... ini bukan keluhan, cuma serupa ndleming seorang Titie yang sedang merindui keluarga besarnya di Surabaya. Andai saja di jakarta kutemui ruang dan komunitas di mana aku bisa mengekspresikan kemampuan diri ....

Well, whatever, hari ini adalah milikku. Duniaku. Cuma aku yang bisa mengubah segala kerinduan ini menjadi sepotong kekuatan jiwa untuk menjalani hari-hari di kota besar bernama jakarta. Surabaya memang sebuah kenangan tanpa akhir. Tapi hari ini adalah kenyataan yang harus kujalani. Aku tak bisa hidup di dalam ruang-ruang kenangan, yang harusnya kulakukan adalah menjadikan kenangan itu sebagai bagian dari upaya menumbuhkan jiwa kembali di belantara ibu kota negara ini. Aku bisa! pasti bisa!

*Kutulis usai ditelepon Didi Cahya, Duri Kepa 24 Juni 2014

4 komentar:

PAPERLAND said...

intinya. dimanakah hatimu tinggal maka tinggallah di kota itu :D

Titie Surya said...

PAPERLAND , yuuuup

Lidya Fitrian said...

lagi kangen ya mbak

Titie Surya said...

Kangen sangat, Mbak Lidya hehehe

Post a Comment

Untuk mempererat persahabatan, tinggalkan jejakmu di tulisan ini ya sahabat. Terima kasih

Followers

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | 100 Web Hosting